About

Selasa, 07 Februari 2012

SEJARAH DARI CHE GUEVARA


Dalam perjalanan sejarahnya, Hollywood sering kali menyajikan produk-produk yang konyol, tapi para pembuat film biasanya tidak menutupi perilaku sadis para pembunuh dalam film yang mereka produksi. Tapi Steven Soderbergh berbuat demikian dalam film garapannya yang baru mengenai kehidupan Che Guevara. Che, sang tokoh revolusioner, seperti ditampilkan aktor Benecio del Toro dalam film Soderbergh ini adalah khayalan belaka. Pahlawan kaum kiri dengan rambut dan cambang bagaikan seorang hippie, citra yang sekarang menjadi ikon di kaus dan cangkir gendut di seluruh dunia, cuma mitos yang diciptakan para propagandis Fidel Castro–semacam persilangan antara Don Quixote dan Robin Hood.
Seperti dongeng pada umumnya, mitos Che yang dibangun Fidel mengandung persamaan dengan fakta sejarah yang dilebih-lebihkan, tapi cerita sebenarnya jauh lebih gelap. Mungkin saja Robin Hood merampok si kaya dan, untuk menghilangkan jejaknya, membagi sebagian harta rampokannya kepada si miskin. Di Spanyol, pada abad pertengahan, kesatria-kesatria mirip Quixote mungkin saja berkeliaran di desa-desa, bukan untuk melawan naga di dalam dongeng, melainkan menghabisi sisa-sisa muslim dari negeri itu.
Cerita yang sama berlaku bagi Che yang legendaris itu. Tak ada seorang remaja yang berontak melawan kemapanan dan orang tua mereka yang tampaknya mampu menolak citra Che yang sangat memikat itu. Cukup dengan mengenakan kaus dengan wajah Che, mereka sudah menempuh jalan tersingkat dan termurah untuk menampakkan diri berpihak pada sisi sejarah yang benar.
Apa yang berlaku bagi remaja juga tampaknya berlaku di kalangan sutradara film muda. Pada 1960-an, “Che-look” dengan cambang dan baretnya merupakan semacam pernyataan politik. Sekarang wajah Che tidak lebih dari sekadar pernik fashion yang mengilhami karya-karya epik berdana besar Hollywood. Apakah nanti Che bisa juga dijadikan tema sebuah taman? Namun, pernah ada Che Guevara yang sebenarnya: ia kurang dikenal dibandingkan dengan boneka fiksi yang menggantikan Che Guevara sebenarnya. Che yang sebenarnya merupakan tokoh yang lebih berarti daripada “klon” fiksi karena ia merupakan titisan dari apa arti sebenarnya revolusi dan Marxisme abad ke-20.
Che bukan seorang humanis. Sesungguhnya tidak ada pemimpin komunis yang memiliki nilai-nilai humanis. Karl Marx pasti bukan. Setia dengan Marx pendiri gerakan komunis, Stalin, Mao, Castro, dan Che, tidak menaruh respek terhadap nyawa manusia. Untuk membentuk suatu dunia baru perlu diguyurkan darah. Ketika dikecam salah seorang kawan separtainya karena matinya jutaan rakyat Cina selama revolusi, Mao menjawab bukankah ribuan rakyat Cina mati setiap hari, jadi apa artinya kematian itu? Begitu juga Che bisa membunuh dan menjawab pertanyaan yang sama dengan mengangkat bahu. Che, yang mengenyam pendidikan kedokteran di Argentina, bukan memilih untuk menyelamatkan nyawa manusia, melainkan memilih membunuhnya. Setelah merebut kekuasaan, Che menghukum mati 500 “musuh” revolusi tanpa pengadilan.
Castro, yang bukan seorang humanis, berupaya mengekang Guevara dengan menunjuknya sebagai menteri industri. Seperti mudah diduga, Che menerapkan kebijakan ala Uni Soviet terhadap rakyat Kuba: pertanian dihancurkan dan pabrik hantu bertebaran di mana-mana. Ia tidak peduli dengan ekonomi Kuba atau rakyatnya. Tujuannya adalah melakukan revolusi untuk revolusi, apa pun artinya, seperti seniman mengatakan seni untuk seni.
Sesungguhnya, tanpa ideologi, Che tidak lebih daripada seorang pelaku pembunuhan berantai. Slogan ideologis membuat ia bisa membunuh lebih banyak daripada yang dapat dibayangkan seorang pelaku pembunuhan berantai. Dan semuanya atas nama keadilan. Lima abad yang lalu, Che mungkin bisa menjadi salah seorang dari pendeta-pendeta merangkap serdadu yang membantai penduduk asli Amerika Latin atas nama Tuhan. Atas nama sejarah, Che juga memandang pembantaian sebagai jalan menuju tercapainya suatu tujuan yang agung.
Tapi, andaikan kita menilai pahlawan Marxis itu menurut kriterianya sendiri, apakah benar ia telah mengubah dunia? Jawabannya, ya–tapi membuatnya lebih buruk. Kuba komunis yang kelahirannya dibantu Che adalah sebuah kegagalan yang tak terbantahkan, lebih dimiskinkan dan lebih terbelenggu daripada Kuba sebelum “pembebasan”. Dengan segala reformasi sosial yang sering didengung-dengungkan kaum kiri, ternyata tingkat melek huruf di Kuba lebih tinggi di masa sebelum Castro merebut kekuasaan dan rasisme terhadap warga kulit hitam tidak separah sekarang. Sesungguhnya para pemimpin Kuba sekarang lebih banyak yang berkulit putih daripada pada masa berkuasanya Batista.
Di luar Kuba, mitos Che telah mengilhami ribuan mahasiswa dan aktivis di seantero Amerika Latin yang rela mengorbankan nyawa dalam perang gerilya yang sia-sia. Golongan kiri, yang terpesona rayuan Che, memilih perjuangan bersenjata daripada mengikuti pemilihan. Dengan berbuat demikian, terbuka jalan naiknya kediktatoran militer. Amerika Latin belum sembuh dari akibat Guevarisme yang bukan dikehendakinya.
Sebenarnya 50 tahun setelah revolusi Kuba, Amerika Latin tetap terpecah-belah. Negara-negara yang menolak mitologi Che dan memilih demokrasi dan pasar bebas, seperti Brasil, Peru, dan Cile, mengalami kemakmuran yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya: persamaan, kebebasan, dan kemajuan ekonomi yang tercapai dalam persatuan. Sebaliknya negara-negara yang tetap bernostalgia dengan Che , seperti Venezuela, Ekuador, dan Bolivia, pada saat ini tengah berada di jurang perang saudara.
Che sebenarnya yang menghabiskan sebagian besar waktunya sebagai bankir utama Kuba yang mengawasi pelaksanaan eksekusi mati, pantas dikenali dengan lebih baik. Bila epik dua bagian yang digarap Soderbergh mengenai Che ini berhasil di box office, para penyandang keuangannya mungkin menginginkan diproduksinya lanjutan cerita yang lebih mendekati kebenaran. Sudah pasti Soderbergh tidak akan kekurangan bahan untuk membuat “Che, The Untold Story”.

0 komentar:

Posting Komentar